EmhaAinun Nadjib merupakan budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur. Ia memiliki sapaan akrab dengan panggilan Cak Nun. Seorang Cak Nun adalah adalah anak keempat dari 15 bersaudara yang pernah menjadi murid di Pondok Modern Gontor - Ponorogo. Kemudian ia menamatkan pendidikan di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.
Karakteristik Agama Islam Waqi’iyyah Karakteristik Islam Waqi’iyyah Waqi’iyyah Artinya realisme. Islam diturunkan untuk berinteraksi dengan realitas-realitas obyektif yang nyata-nyata ada sebagaimana ia adanya. Selain itu ajaran-ajarannya didesign sedemikian rupa yang memungkinkannya diterapkan secara nyata dalam kehidupan manusia. pengertian karakter waqiyyah Ia bukan nilai-nilai ideal yang enak dibaca tapi tidak dapat diterapkan. Ia merupakan idealisme yang realistis, tapi juga realisme yang adalah realitas obyektif yang benar-benar wujud dan wujud-Nya diketahui melalui ciptaan-Nya dan kehendak-Nya diketahui melalui gerakan alam. Alam dan manusia juga realitas obyektif. “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Yang memiliki sifat-sifat demikianlah ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. Dia menyingsingkan pagi dan manjadikan malam untuk beristirahat, dan menjadikan matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” QS 6 95-96 Tapi konsep Islam juga didesign sesuai dengan realitas obyektif manusia, kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya, hambatan internal dan eksternalnya, potensi ril yang dimiliki manusia untuk menjalani hidup. Islam memandang manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya; dengan ruh, akal dan fisiknya; dengan harapan-harapan dan ketakutannya; dengan mimpi dan keterbatasannya. Lalu berdasarkan itu semua Islam menyusun konsep hidup ideal yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia dengan segenap potensi yang bukan idealisme yang tidak mempunyai akar dalam kenyataan. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”.QS 2 286.
3gpHafidz indonesia, Agar menang arisan, aji sahadat demak, ajian agar rambut tidak bisa dipotong, ajian enteng rezeki, Ajian pengikat sukma dari banjar, ajian singq, alamat jaka pinayungan, alat bakar buhur elektrik, alkabir penarika uang, allahumma ya ghoniyu, allahumma ya qawi, Amalan apa yang bisar mengeluarkan arisan yang di kocok ibu ibu, amalan dan dzikir khizib nasor khizib ikfa kizib
Semua orang pasti mengenal Cak Nun sebagai budayawan yang sudah tidak diragukan lagi kapabilitasnya. Tetapi tidak semua yang tahu Cak Nun mengenal betul siapa dia sebenarnya. Bahkan sebagian dari mereka tidak tahu nama lengkapnya. Dalam artikel ini kami akan menyampaikan biografi dan pemikiran Cak Nun yang akan menjadikan Anda mengenal Cak Nun lebih juga biografi Habib Syech di ACADEMIC INDONESIAACADEMIC INDONESIAMungkin jika ditanya, berapa istri Cak Nun dan berapakah putranya, kemungkinan besar mereka tidak akan tahu dengan pasti. Untuk itu, bagi yang merasa menjadi penggemar Cak Nun, ulasan singkat ini bisa digunakan untuk mengenalinya lebih intim. Berharap, semoga berbagai gagasannya bisa diserap dengan lebih Cak NunACADEMIC INDONESIABiografi dan pemikiran Cak Nun sangat menarik untukl kita kulik. Cak Nun lahir di Jombang pada hari Rabu tanggal 27 Mei 1953 dan merupakan putra keempat dari 15 bersaudara. Orang tuanya MA Lathif, seorang petani memberinya nama Muhammad Ainun Nadjib yang akhirnya orang mengenalnya dengan nama Emha Ainun Emha itu sendiri awalnya singkatan dari Mh yang kemudian karena ejaannya, maka orang lebih mengenalnya dengan panggilan Nun merupakan salah satu cendekiawan muslim yang sangat getol memperjuangkan nilai-nilai budaya di seluruh pelosok negeri. Melalui syair-syairnya, Cak Nun mengkritik seluruh lapisan masyarakat agar bisa berubah menuju perilaku yang lebih juga terkait Kata-kata Mutiara Peradaban Islam yang Akan membuat Anda berpikir dan Bersikap BijakUmbu Landu Paranggi; Sosok Guru Pribadi Cak pendidikanya dimulai dari Sekolah Dasar di Jombang sampai tahun 1965, kemudian melanjutkan ke SMP dan SMA Muhammadiyah, Jogjakarta sampai tahun dengan mondok di salah satu Pesantren Gontor Modern tetapi tidak betah lantaran tidak cocok dengan sistem yang diterapkan di pondok. Cak Nun juga pernah mengenyam pendidikan di UGM tetapi hanya sampai satu Nun akhirnya lebih menyukai belajar sastra pada guru yang sangat dikaguminya yaitu Umbu Landu Paranggi. Beliau adalah seorang sufi yang kehidupannya penuh dengan tanda tanya sebagaimana yang biasa dijalani oleh kaum sufi Nun belajar sastra kepada gurunya ini selama 5 tahun 1970-1975. Selain sastra, Cak Nun sangat gemar dengan seni teater yang pernah mengantarkannya ke berbagai negara di belahan seperguruannya pada waktu itu adalah penyanyi Ebiet G Ade, Eko Tunas yang dikenal sebagai cerpenis dan penyair serta EH. Kartanegara yang juga seorang itu sudah mendarah daging sampai akhirnya ia mendirikan Kyai Kanjeng sebagai wadah untuk mengekspresikan semua gagasannya guna membenahi kebudayaan Cak NunACADEMIC INDONESIACak Nun memiliki 5 anak dari dua istri. Dari istri pertamanya, Neneng Suryaningsih, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh. Tetapi harus terpaksa bercerai demi kebaikan dari istri keduanya, Novia S. Kolopaking, ia dianugerahi 4 putra yang masing-masing namanya adalah Ainayya Al-Fatihah, Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah dan Anayallah Rampak kesemua nama yang diberikan kepada anaknya ini menunjukkan bahwa Cak Nun memang seorang budayawan yang sekaligus Islami. Salah satu anaknya ada yang menjadi musisi sebagai vokalis band Letto yang biasa disapa dengan sapaan akrabnya “Nu” yang diambil dari salah satu suku kata di era 90an sampai era milenium merupakan salah satu band yang paling banyak penggemarnya. Grup musik yang digandrungi oleh kaum muda-mudi ini dikenal dengan lagunya yang sufistik. Dan sampai saat inipun masih memiliki banyak penggemar Novia, istri kedua Cak Nun merupakan wanita yang juga menggeluti dunia seni dan tarik suara. Dia merupakan salah satu penyanyi yang sudah keliling itu justru dilakukannya saat bergabung dengan Kyai Kanjeng. Walaupun begitu, dirinya tidak mau disebut sebagai artis. Bahkan jika ada yang masih ngotot menyebutnya sebagai artis, maka dia akan marah Cak NunACADEMIC INDONESIASelama pengabdiannya kepada masyarakat, Cak Nun sudah banyak memberikan sumbangan yang berharga. Di tahun 2010 dirinya mendapat penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang justru pada saat itu sering diberikan kepadanya karena dianggap sudah memberikan sumbangan yang besar terhadap kebudayaan dan karyanya berguna bagi masyarakat, nusa, bangsa dan melalang buwana bersama Kyai Kanjeng, Cak Nun pernah menjadi pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Jogja tahun 1970. Menjadi wartawan sekaligus redaktur di harian yang sama tahun juga pernah memimpin teater Dinasti Jogjakarta. Dan yang terakhir menjadi pimpinan sekaligus pengasuh di Grup Musik Kyai Kanjeng serta masih aktif menulis puisi dan kolumnis di berbagai media. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai penulis buku yang menggeluti dunia teater, karyanya pernah dipentaskan ke berbagai belahan dunia seperti lokakarya teater di Filipina tahun 1980, International Writing Program di Universitas Iowa, AS tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1984 dan Festival Horizonte III di Jerman tahun hanya itu, Cak Nun juga memiliki pengajian rutin yang memposisikan dirinya sebagai pembicara utama di komunitas Masyarakat Padang Bulan di berbagai daerah yang diadakan sebulan sekali. Cak Nun juga pernah diundang ke istana merdeka sebelum jatuhnya Soeharto untuk dimintai Padang Bulan, Cak Nun juga terlibat dalam berbagai diskusi di berbagai komunitas seperti Jamaah Maiyah, Kenduri Cinta yang didirikan sejak tahun 1990. Forum silaturrohim yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki sebulan sekali ini merupakan wadah yang bebas diikuti oleh siapa saja dan berjenis kelamin apa lagi komunitas Mocopat Syafaat Jogjakarta, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali, Juguran Syafaat Banyumas Raya dan Maneges Qudroh beberapa karyanya yang pernah dipentaskan antara lain Keajaiban Geger Wong Ngoyak Macan 1989 yang menceritakan tentang kekuasaan di masa “Raja” Soeharto, Patung Kekasih 1989 yang bercerita tentang pengkultusan, Lik Par 1980 yang bercerita tentang pengeksploitasian rakyat jelata yang dilakukan oleh berbagai Institusi tahun 1982 karya yang dipentaskannya adalah Mas Dukun yang bercerita tentang gagalnya kepemimpinan modern. Tahun 1990 bersama Teater Salahuddin, ia berhasil mementaskan Santri-santri Khidir yang pemainnya adalah seluruh santri tahun yang sama juga, Cak Nun berhasil mementaskan Lautan Jilbab di Jogjakarta, Surabaya dan Makassar. Tahun 1992 Perahu Retak sebagai bentuk kritikan dari masa di tahun ini, ia juga berhasil mementaskan Sidang Para Setan, Pak Kanjeng dan Duta dari Masa Depan. Tahun 1993 mementaskan Kiai Sableng dan Baginda Faruq dan masih banyak lagi pementasan bersama Kyai Kanjeng sendiri, Cak Nun rata-rata manggung sebanyak 10 sampai 15 kali. Alhasil, jika ditulis berapa karya yang pernah dibuatnya, tulisan ringkas ini tidak akan mampu mencatatnya.Think Different Pemikiran Ala Cak NunACADEMIC INDONESIAWalaupun keilmuannya mumpuni, Cak Nun tidak pernah mau dipanggil dengan sebutan kyai. Ia memang bersahabat dengan banyak kyai besar di seluruh Nusantara. Tetapi ia lebih senang dipanggil Cak Nun sendiri merupakan sebutan akrab di daerah Jawa Timur. Dengan hanya dipanggil “Cak”, ia merasa dirinya bisa lebih mudah berbaur dengan masyarakat dan begitupun adalah sosok yang tak senang dipuji, disanjung terlebih dihormati secara berlebihan. Menurutnya semua orang berhak duduk bersama, menikmati hidangan bersama, tertawa bersama, dan berdiskusi bersama dalam satu tempat yang tidak ada pembedaan dirinya yang disebut sebagai budayawan, maka pemikirannya tak jauh dari budaya itu sendiri. Berawal dari kegelisahannya terhadap apa yang sedang dan sudah terjadi di masyarakat membuat Cak Nun lebih agresif untuk membongkar dan mendekonstruksi pemikiran budaya merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Dalam berbagai kesempatan, Cak Nun menjelaskan bahwa budaya merupakan paduan dari sesuatu yang nampak dengan sesuatu yang tidak yang sangat mempengaruhi sesuatu yang tampak adalah sesuatu yang tidak nampak. Itulah yang harus dirubah dan dikonstruksi. Masyarakat harus sadar betul bahwa semua yang terjadi dipengaruhi cara ia seringkali dianggap menyalahi aturan karena masih banyak orang yang belum bisa mencerna apa yang yang menjadi kritikan olehnya adalah masyarakat sendiri. sebab ia tidak mau melihat masyarakat yang kebanyakan dari mereka lebih suka ikut-ikutan. Bahkan untuk istilah kafir yang sering dilontarkan oleh kaum muslimin sendiri untuk muslim lainnya dianggapnya sebagai penodaan terhadap nilai-nilai yang paling diperjuangkan oleh Cak Nun adalah persoalan persatuan. Oleh karena itu, di saat banyaknya masyarakat yang saling menyalahkan dengan menuduh kafir, sesat, bid’ah dan lain sebagainya maka dirinya tidak akan tinggal Cak Nun, sebelum seseorang memutuskan untuk belajar agama, maka telebih dulu ia harus belajar menjadi adalah orang yang memiliki hati, rasa, jiwa, ruh, pikiran dan raga. Kesemuanya itu harus digunakan untuk menyikapi segala apapun yang terjadi. Masing-masing komponen itu harus dipelajari sedetail mungkin. Dalam kata lain, Cak Nun mengajak manusia untuk mempelajari dirinya dirinya sendiri akan mengantarkan seseorang untuk bisa mengerti orang lain. Dalam penjelasan sederhananya, Cak Nun sering mengibaratkan bahwa kalau dirinya tidak suka dipukul maka tidak boleh memukul. Kalau tidak suka dihina maka jangan menghina. Jika tidak mau dicubit maka jangan mencubit dan begitupun klaim pengkafiran dan istilah penistaan lainnya akan memicu perpecahan. Padahal semangat perpecahan itu sudah digencarkan oleh kaum zionis yang dibelakangnya adalah kaum dengan banyaknya umat Islam sendiri yang saling tuduh, justru akan mempermudah kaum Yahudi untuk memporakporandakan umat Islam. Hal inilah yang sangat disayangkan oleh Cak yang digaungkan oleh Cak Nun adalah semangat persatuan sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh para ulama’ zaman dulu. Cak Nun sangat mengutuk masyarakat yang tidak tahu apa-apa tetapi ikut-ikutan melakukan penuduhan, klaim dan penistaan yang berujung sampai kepada pertengkaran dan Nun dan Kyai KanjengACADEMIC INDONESIAOleh karena itu, untuk bisa mengenduskan pemikirannya ke benak setiap lapisan masyarakat, Cak Nun kemudian membentuk Kyai Kanjeng. Cak Nun memilih jalur musik sebagai media dakwahnya karena dirasa lebih bisa familiar dengan masyarakat. Sudah banyak model dakwah yang melalui yang dipilihnya pun bernuansa budaya sebagaimana salah satu sahabat baiknya Habib Anis Sholeh Ba’asyin asal Pati yang juga menggunakan media dakwahnya orkes puisi Sampak memang merupakan dua badan tetapi seperti satu jiwa. Pemikiran keduanya hampir sama. Dan melalui syair-syairnya itu, Cak Nun mencoba mendeklarasikan sebuah perubahan sudut Nun memahami bahwa tidak semua orang bisa mencerna dengan baik maksud dari syair-syairnya. Oleh sebab itu di sela-sela pementasan atau di akhir pementasan biasanya akan diisi dengan penjelasan dari maksud puisi atau hanya itu, sebagai oran yang menggaungkan nilai-nilai kebudayaan, maka di tengah-tengah pentasnya, cak nun mengajak audiens atau penonton untuk untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman masyarakat, cara ini juga sangat efektif untuk membuat dirinya akrab dengan masyarakat. Kedekatan itulah yang disebutnya sebagai “paseduluran”. Istilah yang satu ini menjadi semangat berjuangnya dan juga ingin ditancapkan kepada setiap orang yang menganggap orang lain sebagai saudaranya, maka jika saudaranya berbuat salah maka akan diingatkan dengan cara yang baik. Saudara tidak akan pernah mencaci maki apalagi memang ada yang dirasa sudah kafir, maka harus diajak bicara dengan baik dan diberi pengertian yang baik pula. Sehingga kehidupan keberagamaan akan terasa jauh lebih baik dan Nun juga seringkali meluruskan pemahaman masyarakat tentang berbagai istilah dari sudut pandang etimologisnya. Sebab masyarakat yang tidak tahu asal usul suatu istilah akan lebih mudah karena itu, ia selalu menggembor-gemborkan agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, bukan masyarakat yang itu, Cak Nun selalu mengajak masyarakat agar tidak mudah berburuk sangka. Baginya, buruk sangka merupakan salah satu sebab terjadinya banyak pertikaian dan permusuhan di antara saudara sahabat, guru, orang tua dan semuanya bisa jadi musuh akibat burung sangka. Oleh karena itu, Cak Nun mengajak untuk selalu berpikiran positif. Dengan berpikir positif orang akan lebih bisa mengerti, memahami dan akhirnya timbullah rasa yang salah besar sekalipun tidak pantas untuk dibenci sebagaimana yang sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Tetapi orang yang berbuat salah, dosa, keji, jahat dan lain sebagainya merupakan orang yang harus dikasihani dan diberikan pengarahan agar bisa menjadi lebih baik lagi. Hal ini yang sulit dipahami oleh banyak Nun mengibaratkan bahwa orang jahat dan memiliki banyak dosa merupakan orang yang sedang sakit hatinya. Dengan demikian, orang yang seperti itu perlu ditangani secara serius. Semakin banyak dosa ataupun kejahatan yang diperbuatnya, maka semakin parah penyakitnya sehingga harus semakin serius gagasannya itu dilatarbelakangi oleh kedalamannya mengkaji sebuah teks agama. Tetapi untuk bisa dipahami oleh masyarakat, Cak Nun mengemasnya dengan analogi yang biasa dikerjakan untuk menarik banyak kalangan, Cak Nun selalu membawa Kyai Kanjengnya. Hal ini bertujuan selain untuk memberikan pemahaman, Cak Nun juga ingin memberikan hiburan yang tahu betul bagaimana tipikal masyarakat Indonesia yang sangat menyukai hiburan. Tetapi sayangnya kebanyakan hiburan yang ada jarang yang mengandung nilai-nilai karena itu, Kyai Kanjeng merupakan salah satu bentuk metamorfosa seni musik sebagai hiburan yang sekaligus menjadi media penyalur nilai-nilai agama, budaya, sosial dan kebangsaan. Dan yang paling ditekankan oleh Cak Nun adalah…“Jadilah manusia yang manusiawi, bukan yang lainnya.”Itulah sepenggal biografi dan pemikiran Cak Nun. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil darinya, terlebih beliau memiliki ilmu yang dalam banyak aspek. Dari biografi dan pemikiran Cak Nun kita akan mengerti bahwa manusia merupakan makhluk pemikir yang luar biasa.
Mengungkapkanperasaan syukur pada Allah, biasanya dengan shodaqoh. Manfaat shodaqoh/sedekah yang pertama adalah membuka pintu rezeki, Menyembuhkan Penyakit, Konsep Negara dan Relevansi terhadap NKRI Perspektif Emha Ainun NadjibKajian berikut ini relatif baru dilakukan karena mengetengahkan konsep negara dan pemerintah berdasarkan pemikiran Cak Nun. Selain sebagai penelitian awal, apa yang ditulis oleh Muh. Ainun Najib Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Budy Sugandi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dan Ismail Suardi Wekke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong penting dikemukakan karena belum banyak dilakukan tidak menurut temuan mereka pemikiran Cak Nun tersebut dinilai mampu memberikan wacana alternatif tentang pandangan negara, pemerintah, dan kekuasaan di peneliti menyodorkan dua hasil. Pertama, Cak Nun berpendapat pentingnya pembedaan antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan, termasuk distingsi kepala negara dan kepala pemerintah supaya terwujud kejelasan sekaligus kestabilan pemimpin serta kepemimpinan hendaknya menguasai medan di lapangan secara utuh dengan kualitas keilmuan yang dimiliki. Itulah sebabnya, komprehensi harus menjadi prasyarat seorang pemimpin agar tidak sekadar sebatas perpanjangan partai, golongan, maupun itu diambilnya dari sejumlah penelusuran tekstual maupun verbal Cak Nun. Sejauh pengamatan peneliti, Cak Nun bukan hanya memiliki modal sosial sebagai basis pengaruh, melainkan juga konsep-konsep yang salah satunya membicarakan negara dan kekuasaan. Otoritasnya, dengan kata lain, adalah tokoh masyarakat sekaligus cendekiawan yang punya pengaruh besar di masyarakat di satu pihak dan seorang penulis produktif di pihak lain. Tulisan dan tuturan itu dipakainya sebagai medium komunikasi kepada masyarakat pengetahuan yang Cak Nun sampaikan sarat akan kritikan. Kritik tersebut adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Penyampaian kritik, baginya, merupakan perwujudan cinta Cak Nun terhadap negara. “…[i]ngin memberikan sumbangsih sebuah pemikiran politik mengenai sebuah konsep negara yang bagus menurutnya untuk dijalankan oleh Indonesia kedepannya” hlm. 280.Tanpa kritik kekuasaan cenderung dijalankan secara korup. Apalagi selama ini Cak Nun memandang akar kegaduhan berikut permasalahan negara mendasar belakangan tak terlepas dari “segi mengonsep negara”. Disadari atau tidak, bila masalah paling elementer saja belum selesai, problem sertaan yang mengiringi tidak akan permasalahan yang dihadapi itu meliputi ketidakjelasan kedudukan negara dan pemerintah. Distribusi kekuasaan pun berjalan sengkarut. Memang, sejauh dicatat peneliti, negara Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan presidensial tak ada pemisahan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Belum lagi perbedaan itu disandingkan dengan posisi rakyat, betapa semakin lengkap dan kentara kegamangan berikutnya berhilir pada konsentrasi kepatuhan seseorang yang malah mengacu kepada atasan atau pemerintah, bukan Undang-Undang Negara yang sifatnya substansial. Benih-benih feodalisme, dengan demikian, masih menghunjam kuat di tubuh aparatus kekuasaan, sekalipun ruh demokrasi terus direproduksi di tiap mimbar. Masalah ini semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan penyebutan pegawai negeri sipil karena sebetulnya mereka tak ubahnya pegawai sipil berikut turunan paling bawah seharusnya mengabdi kepada rakyat. Namun, praktik selama ini justru sebaliknya. Rakyat malah harus menghamba kepada birokrat, baik level kelurahan, kecamatan, kebupatian, kegubernuran, kementerian, maupun kepresidenan. Cak Nun berargumen bahwa mereka seharusnya patuh kepada konstitusi dan rakyat semestinya diposisikan tinggi. Betapapun tanpa rakyat mereka bukanlah yang dinilai sebagai bentuk pemerintahan paling baik pun tak luput menuai paradoks. Ia ideal di tatataran ide tapi belum tentu di ranah faktual. Apalagi pertimbangan jumlah rakyat yang di Indonesia terkesan kurang memadai bila hanya dijawab demokrasi sebagai solusi permasalahan. Demokrasi akan efektif dijalankan dalam konteks rakyat yang tidak bejibun sebagaimana di luar itu semua apa yang hendak dibicarakan Cak Nun adalah pentingnya, “beda antara keluarga dengan rumah tangga, antara kepala keluarga dengan kepala kepala rumah tangga, termasuk antara almari kas negara dengan laci kas rumah tangga, juga antara bendahara dengan kasir,” catat peneliti hlm. 282. Pembagian ranah kekuasaan ini sesungguhnya menggarisbawahi bagaimana negara dan pemerintah memiliki cakupan yang berlainan. Keduanya seharusnya memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Tidak malah dijalankan sekaligus oleh presiden, baik sebagai kepala negara maupun Cak Nun tersebut tidak jauh dari masalah manajerial. Ia praktis mengidap disfungsi manakala logika keorganisasian saja tidak dipertimbangkan. Pertanyaan berikutnya, apakah pendiri bangsa tidak memprediksi masalah sistemis atas implikasi dari penyamaan negara dan pemerintah? Bukankah mereka berlatar belakang kaum terdidik Eropa? Pertanyaan ini mau tidak mau memerlukan kajian lebih lanjut karena sudah memasuki wilayah sejarah berdirinya sayangnya hanya mengulas sekilas pada subbagian Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia. Kurangnya porsi pembahasan seputar genealogi sistem kenegaraan Indonesia membuat kajian mereka masih terkesan sepintas lalu. Kendati demikian, tetap perlu ditengok untuk menunjukkan sejauh mana konteks historis turut membentuk sistem kenegaraan hari Republik ini berdiri sistem yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Adanya Konferensi Meja Bundar KMB mengubah peta sistem dan politik negeri, sehingga atas “pengakuan” kerajaan Belanda atas kedaulatan Indonesia tanpa syarat berikutnya terlahir Republik Indonesia Serikat RIS. Berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus RIS membuat sistem pemerintahan Indonesia menjadi parlementer. Walau praktik di lapangan tak sepenuhnya dijalankan dan karenanya waktu itu disebut sebagai “parlementer semu” hlm. 282. Tahun 1950 kemudian lahir Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Berakhirnya UUDS ditandai oleh keluarnya Dekrit Presiden Soekarno. Bung Besar mengintroduksi demokrasi Soekarno baik tapi sebagian besar kalangan menilai bila “demokrasi terpimpin” diterapkan maka akan terjebak pada absolutisme—suatu pemusatan kekuasaan yang melampaui batas dan akan mengingkari cita-cita demokrasi. Wakil Presiden Hatta sampai mengundurkan diri. Soekarno jamak dikritik, khususnya oleh Bung Hatta dari luar Soekarno kelihatannya luhur sebab demokrasi terpimpin masih diperlukan karena sangat khas Indonesia. Sementara itu, menurutnya rakyat Indonesia masih berada di tengah situasi revolusi “pasca-fisik” sehingga gagasan Soekarno dianggap paling di balik propaganda Sang Putra Fajar terbentang permasalahan ekonomi dan politik yang amat serius harga bahan pokok membumbung, nilai rupiah anjlok, aparatus militer kurang solid. Daftar masalah masih bisa diperpanjang sampai masalah pembubaran partai, pembredelan media, dan lain sistem pemerintahan selalu diiringi oleh dinamika kekuasaan. Peneliti membatasi pada kerangka tonggak-tonggak yang terjadi selama kurun waktu lebih dari setengah abad berdirinya Republik Indonesia. Terlepas dinamika internal maupun eksternal, apa yang perlu dicatat di sini perihal konsep pemikiran Cak Nun tentang kenegaraan adalah kembalinya esensi baldatun thoyyibatun warobbun ghafur yang di Jawa senada dengan pengertian tata tentrem kerja raharja hlm. 285.Selain diperlukan distingsi negara dan pemerintah, Cak Nun menggarisbawahi bahwa negara harus menciptakan ketenteraman bagi masyarakatnya. “Urusan negara sebaiknya tidak hanya mengandalkan para politisi dan para aktivis pergerakan, sebab itu hanya masalah hukum, konstitusi dan kekuasaan. Dalam mengurus negara, harus mau melihat sejarah yang memerlukan seorang begawan, kaum brahmana, butuh panembahan dan butuh rohaniawan, dulu disebutnya sebagai DPA Dewan Pertimbangan Agung” hlm. 28.Pilar yang menjaga bangsa dan negara, menurut Cak Nun, harus konfiguratif dengan kedalaman, ketinggian, dan kekuataan seluruh elemen. Ia mewedar enam pokok. Pertama, rakyat sebagai bangunan pokok sebuah negara. Kedua, TNI sebagai pertahanan. Ketiga, intelektual yang meliputi pelajar, seniman, akademisi, maupun para ahli di bidang spesifik lainnya. Keempat, adat dan budaya. Kelima, kekuatan yang dijelaskan para peneliti dalam kajian ini cukup memadai. Paling tidak sudah mendeskripsikan lokus pemikiran Cak Nun seputar negara dan pemerintah, walaupun masih terkesan kurang rinci sebab melupakan satu hal. Salah satunya perkara pihak di luar negara dan pemerintah yang memiliki otoritas kekuasaan nonformal oligarki sebetulnya sering diwacanakan Cak Nun, baik di esai maupun di mimbar Maiyahan, meski beliau lebih memakai istilah “pemodal” sebagai faktor penentu jalannya kekuasaan dewasa ini. Andaikata penelti turut mengelaborasi bagiaman konsep Cak Nun terhadap persoalan oligarki, saya kira kajian yang dilakukan akan membicarakan negara, pemerintah, dan aparatus kekuasaan tidak mungkin tidak menyebut faktor ekonomi-politik di belakangnya? Oligarki ini menurut Robison dan Hadiz 2004 sudah menubuh ke dalam struktur politik di Indonesia. Membicarakan negara dan pemerintah, dengan demikian, semestinya jangan melupakan jeratan oligarkis di partai politik maupun parlemen.
Daningatlah kisah Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim."
– Pada saat digelar akad atau resepsi pernikahan, sering kali kita mengatakan “semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah“. Emha Ainun Najib atau Cak Nun menyampaikan dalam kajiannya, di Alquran disebutkan bahwa kata “Sakinah” merupakan kata benda sedangkan dalam kata kerja berarti dari kata “Sakinah” sendiri tenang, misalnya laki-laki yang litaskunu ke istrinya dan Litaskunu illa atau Litaskunufihi Litaskunufiha. Perbedaannya, jika Allah SWT memberi siang dan malam maka Allah mengatakan, “supaya engkau taskunu fi lail masuk dengan tenang ke dalam istirahat malam”.Hal itu, dikatakan Cak Nun adalah sesuatu yang pasif. Kemudian, manusia juga diberi mawaddah di dalam diri kita. Litaskunufi, itu sesuatu yang pasif dan statis. Namun jika pernikahan, itu bukanlah litaskunufi tetapi litaskunu ila.“Jadi sakinah itu tujuannya, bukan keadaannya. Jadi begini, kalau Sakinah itu semoga, tapi kalau mawaddah warahmah itu sudah pasti sehingga tidak bisa digabungkan semoga sakinah mawaddah warahmah,” kata Cak Nun dalam mengucapkan doa untuk mempelai atau diri kita sendiri dalam pernikahan, hendaknya tidak meminta mawaddah warahmah. Kedua kata ini sudah Allah tanamkan dalam diri Warahmah Sudah Allah Beri dalam Diri ManusiaKata mawaddah warahmah sendiri merupakan alat manusia dalam mencapai sakinah sehingga hal itu tidak perlu diminta kembali. Allah SWT telah menurunkan mawaddah warahmah ke dalam diri manusia untuk mencapai Sakinah dalam pernikahan tangga ibarat hendak mengolah bahan makanan. Di sana ada mawaddah sebagai kompornya, rahmah sebagai wajannya dan isinya tergantung yang ingin mengolahnya, yaitu sakinah. Pun dalam pernikahan, suami-istri telah mengantongi mawaddah warahmah untuk mencapai sendiri merupakan magnet di dalam hati suami dan magnet di dalam hati istri. Dengan kata lain sebagai kecenderungan dan dorongan untuk terus menerus menyatu. Rahmah adalah kasih sayang di dalam hati yang ada di seluruh alam raya beserta isinya ini.“Sakinah itu tujuan yang belum pasti. Tidak setiap hari suami istri merasakan sakinah, ada bumbu-bumbu seperti ngambek, tidak menyapa. Maka, kamu menikah di dunia ini diniatkan nantinya resepsi di akhirat karena di dunia hanya sementara. Diniatkan ketika bersuami istri akan sampai ke surga-Nya,” ungkap Cak Nun. CakNun Dinilai Jujur dalam Sampaikan Kritik soal 'Presiden Belum Tepat' Pernyataan Cak Nun yang menyatakan presiden sekarang belum tepat menjadi sorotan. Pernyataan Cak Nun itu dinilai jujur meski disampaikan di acara PDIP. Cak Nun sendiri dikenal sebagai budayawan yang kritis sejak era Orde Baru. detikNews Senin, 11 Apr 2022 14:21 WIB Sleman, NU OnlineMaraknya kelompok-kelompok minoritas yang dengan murah mengobral istilah-istilah seperti bid’ah, haram, dan bahkan mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya, membuat Emha Ainun Nadjib yang kerap disapa Cak Nun angkat acara bertajuk “Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng” di lapangan Baratan Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Jumat 04/10, Cak Nun menjelaskan beberapa tradisi keagamaan yang biasa dilakukan waraga NU dan kerap dianggap bid’ah oleh beberapa kelompok, seperti Tahlilan, Yasinan, Kenduri, dan Sholawatan. Cak Nun mengawali dengan menjelaskan tentang Tahlilan. Secara bahasa, Tahlil memiliki makna menyatakan Allah sebagai Tuhan dengan ucapan Laa ilaaha illallah. Sedangkan Tahlilan, di dalamnya mengandung unsur budaya, yakni kegiatan yang sering diadakan untuk mendoakan secara bersama-sama orang yang telah meninggal. Kalimat Laa ilaaha illah itu sendiri ada lanjutannya, yaitu Muhammadun Rasulullah. Artinya bahwa di dalam tradisi Tahlilan, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, melainkan juga mengakui bahwa semua adalah ciptaan dan rahmat Allah SWT. “Yang tidak boleh itu jika Tahlilan di dalam sholat. Batasannya yang penting Tahlilan bukan dianggap sesuatu yang wajib, itu yang tidak boleh. Tahlil itu wajib, kalau Tahlilan itu yang tidak wajib,” tandas Cak tradisi Yasinan, Cak Nun menganalogikannya dengan berkata, “Lawong membaca koran saja boleh kok, apalagi membaca Yasin yang merupakan salah satu surah di dalam Al-Qur’an,” ujar Cak Nun yang segera disambut gelak tawa para Kenduri merupakan wujud syukur seseorang dengan cara memberikan sedekah berupa makanan kepada tetangganya, asalkan tidak memberatkan dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang wajib, apalagi jika sampai hutang tetangga untuk melaksanakannya. “Jadi yang mau ngadakan Kenduri ya monggo, yang tidak juga monggo,” ucap Cak Cak Nun menjelaskan tentang tradisi Sholawatan dan puji-pujian yang banyak dilakukan di Masjid-masjid. Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “Innallaha wa malaikatahu yusholluna alan nabi, ya ayyuhalladzina amanu shollu alihi wa sallimu tasliman”.Jadi, lanjutnya, Allah dan malaikatNya saja sudah nyata-nyata bersholawat kepada Nabi Muhammad, maka manusia yang hanya seorang hamba tentu juga tidak ada masalah jika bersholawat kepada Nabi.“Tidak apa-apa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi, asalkan tidak melanggar syari’at. Bid’ah itu kan ketika ibadah mahdhah yang berjumlah lima yakni Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji itu ditambah-tambah atau diubah, di luar lima itu silahkan, tidak apa-apa. Ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang ibadah mahdhah hanya 3%, sisanya 97% itu tentang ibadah mu’amalah,” papar Cak Nun panjang Cak Nun menekankan bahwa boleh tidaknya sesuatu itu terletak pada niatnya. Barang baik, lanjutnya, jika tidak diletakkan pada tempat yang tidak sesuai maka akan dapat menjadi tidak itu, Cak Nun juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Menurut Cak Nun, sekarang ini sedang ada tiga negara besar dengan sokongan dana melimpah yang sedang ingin menghancurkan Indonesia. Mereka mengirimkan agen-agen untuk melakukan infiltrasai ke tengah warga Islam di Indonesia. Menurut dia, tujuan mereka sangat jelas, yaitu ingin memecah persatuan umat Islam di Indonesia untuk kepentingan Cak Nun menyampaikan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak mengkafirkan orang lain, “Tidak ada yang berhak mengkafirkan seseorang kecuali Allah, karena yang tau orang itu kafir atau tidak hanya Allah,” pungkasnya di hadapan ribuan hadirin dari warga desa dan elemen Muspida Sleman malam itu. Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib Monggodisimak lur 😊🙏Semoga bermanfaat sekaligus menghiburMatur nuwun 🌹#caknun #sinaubareng #maiyah Biografi Cak Nun – Siapa yang tidak mengenali tokoh budayawan sekaligus sastrawan yang akrab disapa Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib di mana pandangan dan karya-karya sastranya telah tersebar dan dikenal secara luas. Melalui karya-karyanya, Cak Nun memiliki penyampaian yang berbeda untuk menyampaikan keresahan hatinya mengenai masalah sosial dan keagamaan. Tulisannya banyak menginspirasi penggemarnya. Latar belakangnya sebagai seorang budayawan dan pendakwah menjadikan keberadaan Cak Nun sebagai tokoh penting dalam berbagai acara. Dari berbagai acara terutama dalam acara-acara keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun memberikan pandangan keagamaan, sosial, dan kebudayaan melalui dialog-dialog yang dilakukannya. Karena latar belakang yang dimilikinya adalah sebagai pendakwah yang mana Cak Nun juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, menjadikannya lebih dikenal sebagai tokoh keagamaan. Sebagai seorang yang aktif untuk menyampaikan kajian-kajian keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun melalui karyanya juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Kata-katanya yang terdapat di dalam karya-karyanya sering dijadikan sebuah konten dalam berbagai media. Pengalaman hidup yang dilaluinya menjadikan Cak Nun memilih untuk mengandalkan hidupnya sendiri hingga dirinya terkenal sebagai seorang tokoh intelektual muslim di Indonesia. Cak Nun dikenal melalui kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk, seperti pada puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, seminar, hingga tayangan video. Sebagai salah satu bentuk karyanya yaitu bentuk kegelisahan Cak Nun dari adanya pelarangan jilbab oleh pemerintah Orde Baru yang sensitif karena adanya penampakan ekspresi keislaman sehingga pada tahun 1982 pemerintah Orde Baru melarang pemakaiannya di sekolah negeri. Dari keresahannya tersebut, Emha Ainun Nadjib menuangkannya dalam sebuah karya berupa puisi yang berjudul “Lautan Jilbab”. Dari penjelasan di atas, berikut biografi seorang tokoh Emha Ainun Nadjib. A. Biografi Singkat Cak Nun – Emha Ainun NadjibB. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Kepenulisan1. Memberikan sumbangsih yang besar melalui tulisan-tulisannya2. Aktif dan berperan penting dalam berbagai festival sastra dan lembaga kebudayaan3. Beberapa Buku Karya Emha Ainun Nadjiba. Buku Puisi Karya Cak Nunb. Esai Karya Cak Nunc. Buku Karya Cak NunC. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Dunia Nun Membentuk Grup Musik dan Kelompok Kajian5. Menjunjung Pluralisme Emha Ainun Nadjib memiliki nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib, merupakan salah satu tokoh keagamaan, penyair, dan budayawan yang terkenal. Lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 yang berasal dari pasangan M. A. Lathief dan Halimah dan merupakan putra keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya merupakan pemimpin lembaga pendidikan dan merupakan pengelola TK sampai SMP. Oleh karena ayah Cak Nun merupakan pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan, Cak Nun merasa malu dan memilih untuk masuk ke sekolah dasar negeri yang tempatnya berada di desa tetangga. Perjalanannya dalam menempuh pendidikan dimulai dari TK, SD, di mana setamat SD, Cak Nun melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Tetapi dalam perjalanannya menempuh pendidikan non formal ini tidak sampai diselesaikan oleh Cak Nun karena terdapat masalah di mana Cak Nun dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk melakukan demonstrasi menentang para guru hingga akhirnya Cak Nun dikeluarkan dari pesantren. Kemudian dari peristiwa tersebut, Cak Nun memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang SMP melalui lembaga pendidikan yang dimiliki oleh ayahnya hingga kemudian Cak Nun mendapatkan ijazah SMP. Selanjutnya, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang SMA di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dengan memilih jurusan Paspal. Tamat dari SMA, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya kembali di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tetapi, dalam jenjang perkuliahannya ini, Cak Nun hanya dapat bertahan selama empat bulan dan tidak melanjutkannya karena pada tahun 1974 Cak Nun mendapatkan musibah di mana ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal. Kegemaran Cak Nun di bidang teater mengantarkan dirinya untuk mengenal sosok Neneng Suryaningsih hingga Cak Nun dan Neneng kemudian menikah. Neneng Suryaningsih merupakan seorang penari yang berasal dari Lampung. Cak Nun dan Neneng bertemu ketika keduanya sama-sama aktif dalam kegiatan Teater Dinasti, Yogyakarta. Pada tahun 1979 keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang merupakan personil dari grup band Letto. Namun, usia pernikahannya dengan Neneng tidak bertahan lama hingga keduanya memutuskan untuk bercerai. Setelah keduanya berpisah, pada tahun 1995 Cak Nun menikah dengan seorang seniman film, panggung, dan penyanyi yang bernama Novia Kolopaking. Pernikahannya dengan Novia dikaruniai empat anak yaitu Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, dan yang meninggal di dalam kandungan yaitu Ainayya Al-Fatihah. B. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Kepenulisan Source Awal perjalanannya dalam kepenulisan sudah dimulai sejak akhir tahun 1969. Di mana usia Cak Nun menginjak usia 16 tahun di mana saat itu Cak Nun meninggalkan pendidikan pesantrennya dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1975 karya-karyanya telah dibukukan. Tulisan-tulisannya telah dibukukan dalam berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, naskah drama, esai, quotes, transkrip, hingga wawancara. Berikut perjalanan prestasi Cak Nun dalam ranah sastra. 1. Memberikan sumbangsih yang besar melalui tulisan-tulisannya Pada tahun 1980 hingga 1990 dengan rentang waktu 20 sampai 30 tahun setelahnya, bukunya masih terus diterbitkan karena dinilai masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia. Karya-karyanya tersebut banyak terbit dan tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera Malaysia, dan Zaman. Tak hanya di majalah, karyanya juga terbit sebagai rubrik kolom dan tersebar di surat kabar yakni di Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan Surabaya Post. Dari kumpulan karyanya tersebut menghasilkan buku yang berupa kumpulan esainya yang masuk ke dalam kategori sosial dan budaya. Konsistensinya berkiprah di dalam dunia sastra dimulainya sejak muda di mana Cak Nun bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra pada tahun 1970 yang dipimpin oleh Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub PSK, di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta. Kegiatannya tersebut dimulai ketika Cak Nun menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional. Tak hanya itu, Cak Nun juga menulis puisi di Majalah Muhibbah yang mana merupakan majalah terbitan UII Yogyakarta dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI. Dari perjalanannya tersebut, Cak Nun kemudian banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta seperti Horison. Ketidakpuasannya membuat Cak Nun menghasilkan sajak dan cerpen ringan yang kemudian berlanjut menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembahasan mengenai pameran lukisan. Cak Nun menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja dalam tulisan-tulisannya. 2. Aktif dan berperan penting dalam berbagai festival sastra dan lembaga kebudayaan Pada tahun 1975, Cak Nun mengikuti sebuah Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978. Cak Nun juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Lowa University Amerika Serikat pada tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda pada tahun 1984, Festival Horizonte >III di Berlin, Jerman pada tahun 1985, dan berbagai pertemuan sastra dan kebudayaan sejenisnya. Cak Nun pernah menjadi redaktur kebudayaan di harian Masa Kini sampai pada tahun 1977 dan menjadi pemimpin Teater Dinasti, Yogyakarta. Selain itu, Cak Nun juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta. Tak hanya itu, Cak Nun juga ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Tak berhenti di situ, Cak Nun membentuk sebuah komunitas yang diberi nama “Komunitas Padhang Mbulan” pada tahun 1995. Komunitas tersebut dibentuk untuk membentuk sebuah kelompok pengajar. Cak Nun juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja. 3. Beberapa Buku Karya Emha Ainun Nadjib Berikut rentetan karya Emha Ainun Nadjib. a. Buku Puisi Karya Cak Nun “M” Frustasi 1976; Sajak-Sajak Sepanjang Jalan 1978; Sajak-Sajak Cinta 1978; Nyanyian Gelandangan 1982; 99 Untuk Tuhanku 1983; Suluk Pesisiran 1989; Lautan Jilbab 1989; Seribu Masjid Satu Jumlahnya 1990; Cahaya Maha Cahaya 1991; Sesobek Buku Harian Indonesia 1993; Abracadabra 1994; dan Syair Asmaul Husna 1994. b. Esai Karya Cak Nun Dari Pojok Sejarah 1985; Sastra Yang Membebaskan 1985; Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya 1994; Tuhanpun Berpuasa 1995; 2,5 Jam Bersama Soeharto 1998; Segitiga Cinta 2001; Trilogi Kumpulan Puisi 2001; Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan 1998; Ziarah Kebangsaan 1998. c. Buku Karya Cak Nun Mbah Nun Bertutur Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang BH - Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib Cover Baru Semesta Emha Ainun Nadjib Rahman Rahim Cinta Indonesia Bagian Dari Desa Saya Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar Lockdown 309 Tahun C. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Dunia Teater Perannya untuk karya seni teater cukup memberi prestasi. Cak Nun memberikan peran aktif dalam kehidupan multi kesenian di Yogyakarta. Di mana Cak Nun pernah berkecimpung di dunia teater bersama Halim HD, menjadi networker kesenian melalui Sanggarbambu, dan aktif dalam Teater Dinasti. Perannya dalam Teater Dinasti menghasilkan beberapa repertoar dan pementasan drama yang mana di antaranya yaitu 1 Geger Wong Ngoyak Macan Tahun 1989 mengenai pemerintahan Soeharto. 2 Patung Kekasih Tahun 1989 mengenai pengkultusan. 3 Keajaiban Lik Par Tahun 1980 mengenai eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern. 4 Mas Dukun Tahun 1982 mengenai gagalnya lembaga kepemimpinan modern. Sedangkan perannya dalam Teater Salahudin menghasilkan pentas yang berjudul Santri-Santri Khidhir pada tahun 1990, yang mana diperankan oleh Cak Nun di Lapangan Gontor dengan seluruh santri dan dihadiri penonton di Alun-Alun Madiun. Selain itu, Cak Nun mementaskan teaternya kembali dengan judul Lautan Jilbab pada tahun 1990 yang mana dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Juga pentas lainnya yaitu yang berjudul Kiai Sableng dan Baginda Faruq pada tahun 1993, Perahu Retak pada tahun 1992 mengenai Indonesia pada zaman Orde Baru yang digambarkan lewat situasi konflik Pra-Kerajaan Mataram di mana naskah teaternya ini dijadikan buku dan diterbitkan oleh Graha Pustaka. Pentas teater lainnya yaitu Di Samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, dan Duta Dari Masa Depan. Tentunya dari keseluruhan tersebut menghantarkan Cak Nun sampai ke kiprahnya saat ini. Nun Membentuk Grup Musik dan Kelompok Kajian Tak berhenti di ranah tulis-menulis dan teater, Cak Nun mengembangkan ke ranah musik. Dengan berkolaborasi bersama kelompok musik Gamelan Kiai Kanjeng dan menghasilkan album perdananya yang rilis pada tahun 1995. Dengan lagu andalan Tombo Ati di album yang bertajuk Kado Muhammad. Cak Nun membuat sebuah wadah untuk menampung permintaan dialog dan diskusi dari masyarakat yang diberi nama Pengajian Padhang Mbulan. Wadah diskusi ini diadakan setiap bulan di kampung halamannya. Sebenarnya ide untuk membuat kelompok diskusi dan kajian ini berawal dari agenda keluarganya, tetapi kemudian forum diskusi dan kajian tersebut meluas ke masyarakat. Bertahap dari langkah awal tersebut, forum diskusi dan kajian yang dikembangkan oleh Cak Nun bertransformasi menjadi Jamaah Maiyah. Forum tersebut kemudian dijadikan oleh Cak Nun dan para pengurusnya menjadi tempat untuk berdiskusi mengenai memberikan solusi dari adanya masalah sosial. Jamaah Maiyah pertama kali dilaksanakan di Jakarta dan semakin meluas di berbagai kota di Indonesia. Dari berbagai macam namanya yang berbeda-beda di tiap wilayah seperti Tombo Ati di Surakarta, Paparandang Ate di Sulawesi Selatan, Bangbang Wetan di Surabaya, dan Mocopat Syafaat di Yogyakarta. Berperan aktif dalam segala hal baik menjadi pembicara dan narasumber di berbagai acara membuat Cak Nun banyak menghabiskan waktu untuk berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Dari kegiatannya tersebut, Cak Nun selalu ditemani oleh kelompok music Gamelan Kyai Kanjeng. Tak hanya itu, Cak Nun juga menyampaikan kajian islami di acara lain. Dari sosoknya yang mampu memberikan banyak manfaat melalui kajian-kajiannya yang disampaikan, terhitung rata-rata dalam satu bulan Cak Nun mengisi acara-acara tersebut mencapai lima belas kali. Dari perannya tersebut, Cak Nun berusaha untuk melakukan dekonstruksi pemahaman terhadap cara berpikir, metode hubungan cultural, pola komunikasi, dan nilai dalam masyarakat. Di dalam acaranya, sholawatan menjadi satu agenda wajib. Tak hanya forum kajian dan diskusi yang diadakan, Cak Nun juga mengadakan workshop kecil bagi mereka yang datang dan ikut dalam acara Sinau Bareng. Dengan dibantu oleh para penabuh Gamelan Kiai Kanjeng, mereka yang datang diajak naik ke panggung untuk menyanyikan tembang dan melestarikan budaya melalui permainan tradisional. Kegiatan yang dilakukan oleh Cak Nun tersebut sering disebut sebagai dakwah secara kultural. 5. Menjunjung Pluralisme Saat Cak Nun bersama Grup Musik Kyai Kanjeng sedang bershalawat dengan gaya gospel yang kuat dan diiringi musik gamelan kontemporer di hadapan jamaah yang berkumpul di depan panggung Masjid Cut Meutia dengan balutan busana yang serba putih, dirinya menyampaikan ujaran, “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya bershalawat.” Dari ujarannya tersebut dapat dilihat bahwa tampaknya Cak Nun berusaha untuk memperbaiki cara berpikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Tak hanya itu, Cak Nun juga menyampaikan hal-hal yang kontroversial. Sejatinya, di dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pikiran yang muncul dari ujarannya membantu menyegarkan hati dan pikiran. Cak Nun selalu menyampaikan dalam forum kajiannya dan komunitasnya mengenai pluralisme. Menurut Cak Nun sejak zaman Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme yang mana Cak Nun memberikan ujaran pendapatnya bahwa, “ Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar.” Cak Nun berpendapat bahwa pluralisme bukanlah menganggap semua agama adalah sama. Islam berbeda dengan Kristen, Budha, Katolik, dan Hindu. Sebagaimana ujaran pendapatnya, “Tidak bisa disamakan, yang beda biarlah berbeda. Kita harus menghargai itu semua.” Baca juga artikel terkait “Biografi Cak Nun” berikut ini Biografi Ki Hajar Dewantara Biografi Bob Sadino Biografi Mark Manson ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
\nwahidiyah menurut cak nun

4 dikali 5 hasilnya 20, dalam kondisi apapun," katanya dalam Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng yang berlangsung di SMPN 1 Dawe, Kudus dalam rangka Reuni Perak 25 Tahun Alumni SMPN 1 Dawe Tahun 1991, Jumat (7/4) lalu.

Ringkasan Cak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Kedua jalur itu utama itu masing-masing memiliki latar belakang pendidikan pesantren tradisional, kemudian mengenyam pendidikan Islam di Universitas, dan kelak mewarnai pemikiran dan kehidupan keislaman di Indonesia. Sementara Cak Nun berada diluar arsitektur jalur pemikiran Islam tersebut. Maka, dalam pemikiran Cak Nun ditemukan hal-hal yang tak terduga dan mengejutkan. Terlebih pada orang yang terbiasa dengan konvensi-konvensi pemikiran dan organisasi Islam yang kaku. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Ber-Islam ala Cak Nun “Otentisitas Pemikiran Cak Nun dalam Riuh Pemikiran Islam Kontemporer” Ringkasan Cak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Kedua jalur itu utama itu masing-masing memiliki latar belakang pendidikan pesantren tradisional, kemudian mengenyam pendidikan Islam di Universitas, dan kemudian mewarnai pemikiran dan kehidupan keislaman di Indonesia. Sementara Cak Nun berada diluar arsitektur jalur pemikiran Islam tersebut. Maka, dalam pemikiran Cak Nun ditemukan hal-hal yang tak terduga dan mengejutkan. Terlebih pada orang yang terbiasa dengan konvensi-konvensi pemikiran dan organisasi Islam yang kaku. Keyword Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, Maiyah, Gus Dur, Cak NurCak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Seperti disampaikan oleh Greg Barton, “Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” dipelopori oleh 2 pendekar dari Jombang ditambah Djohan Effendi dan Ahmad Wahib di awal 1970an. Kedua Pendekar dari Jombang yang notabene basis Pesantren dan Nahdatul Ulama itu adalah Nurcholis Madjid yang lebih akrab dipanggil Cak Nur. Seorang pendekar lagi adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nurcholis Madjid sejak kecil masuk Pesantren di tanah kelahirannya dan terakhir belajar di Pondok Modern Gontor. Setamat dari Gontor, Cak Nur melanjutkan belajar di IAIN Syarif Hidayatullah Sekarang UIN Syahid. Sementara Gus Dur adalah darah biru Kiai. Gus Dur cucu dari KH. Hasyim Asy’ari –pendiri Nahdatul Ulama- dan putra dari KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama diawal kemerdekaan. Gus Dur kenyang dengan pengalaman nyantri di Pesantren. Namun, Gus Dur juga menghabiskan buku-buku hasil pemikiran Barat disela-sela kegiatan rutinnya di Pesantren. Gus Dur kemudian pergi ke Al Azhar yang membuatnya bosan hingga akhirnya pindah ke Baghdad. Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan belajar ke Eropa tapi gagal karena ijazah dari Baghdad tidak diakui di Eropa. Sedangkan Djohan Effendi adalah pemuda Banjar yang menempuh study di IAIN Sunan Kalijaga UIN Suka Yogyakarta, kota yang secara tradisional memiliki akar intelektual yang kuat. Banjar sendiri dikenal sebagai produsen ulama Islam Tradisional. Di Yogyakarta, Djohan Effendi memiliki teman seperjuangan, yaitu Ahmad Wahib, seorang pemuda dari Sampang Madura yang juga basis Islam Tradisional. Mereka berempat adalah generasi yang lahir menjelang tahun 1940. Pemikiran-pemikiran mereka tentang masa depan ummat Islam kemudian didukung oleh Mukti Ali, Harun Nasution dan Munawir Sadzali dengan membangun infrastruktur pemikiran dan memfasilitasi para “calon pembaharu” ini dan generasi sesudahnya untuk belajar ke universitas-universitas di luar negeri. Cak Nur belajar ke Chicago, USA, kepada Fazlur Rahman –cendekiawan Muslim asal Pakistan yang masygul karena tidak diterima di tanah airnya sendiri. Djohan Effendi menjadi pegawai negeri. Sedangkan Ahmad Wahib tidak sempat mencicipi penjelajahan intelektual lebih lama karena wafat dengan cara yang tragis di usia 30 tahun. Mereka berempat–belakangan oleh para peneliti Barat- dikategorikan sebagai kalangan Neo-Modernis. Kategorisasi ini merujuk dari paradigma keempat orang tersebut yang jika dirunut, asal mulanya adalah dari pemikiran yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman. Neo-Modernis adalah gagasan yang men-sintesa-kan Rasionalisasi Pemikiran Islam dengan Kajian Kitab-kitab Klasik. Baik Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid maupun Djohan Effendi merupakan representasi yang akurat untuk kriteria tersebut. Pertama, mereka adalah lulusan Pesantren yang menguasai kitab-kitab klasik karya cendekiawan Muslim abad-abad awal Islam mulai berkembang hingga abad pertengahan Eropa. Kedua, mereka belajar ke perguruan tinggi Islam modern yang membuka wawasan mereka pada hasil ijtihad baru dan wacana-wacana diluar kitab klasik. Diantara arus besar pembaruan pemikiran Islam itulah, satu generasi sesudahnya-lahir pasca 1950- ada seorang remaja bandel dari Jombang yang “disingkirkan” dari sekolahnya di desa dan kemudian “diusir” dari Pondok Modern Gontor. Pemuda itu kemudian lari ke Yogyakarta. Dia melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 1. Setelah lulus SMA, remaja itu sempat mencicipi hampir satu semester kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian memilih hijrah sepenuhnya ke Malioboro dan hidup menggelandang disana bersama para seniman dibawah mentor Umbu Landu Paranggi. Pemuda ini adalah Muhammad Ainun Nadjib yang kemudian dikenal dengan panggilan Cak Nun. Jika kelompok Neo-Modernis adalah pemuda-pemuda pencari lulusan pesantren dan IAIN, maka Cak Nun muda adalah “orang usiran” dari sekolah, Pesantren dan drop out dari Universitas umum. Cak Nun tidak mengenyam pendidikan formal Islam secara baik dan terstruktur. “Pendidikan Agama”nya otomatis selesai setelah dia diusir dari Gontor. Seperti yang diakuinya sendiri, bahwa ”Saya tidak pernah memiliki Guru.” Namun, dalam pada itu, di Malioboro dia bertemu dengan seorang Pangeran Sumba yang memilih menjalani hidup sebagai zahid. Laki-laki yang meninggalkan Kerajaan dan seluruh hartanya serta kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh posisinya untuk hidup menggelandang di Malioboro. Pilihan hidupnya seperti pilihan Sidharta Gautama atau pun Muhyi Din Ibn Arabi. Laki-laki inilah –Umbu Landu Paranggi- seorang guru bagi Para Penyair dan Sastrawan di Yogya era akhir 1960an hingga akhir 1970an. Kehidupan Umbu sangat unik. Pilihan-pilihan hidupnya juga diluar mainstream pemikiran orang pada umumnya. Keterlibatan yang intens dengan Umbu Landu Paranggi inilah yang diakui Cak Nun sebagai “pengalaman yang menjadi gurunya”. Umbu tidak pernah mengajarinya namun Umbu mengajaknya menikmati pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang membuatnya belajar jauh lebih banyak tentang kehidupan. Jika boleh dideskripsikan, waktu itu Cak Nun muda adalah seorang “Pencari” dan Umbu memberikan metode-metode –mungkin dengan disadari atau tidak- yang membantu Cak Nun muda menjalani pencarian itu, tanpa mengarahkan akan menemukan apa. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Cak Nun menirukan Umbu,”Orang mengalami pencarian mungkin pada usia 17 tahun, 25 tahun atau saat menjelang ajalnya dan baru menyadari apa sejatinya hidup ini. Dan N panggilan Umbu untuk Cak Nun telah selesai itu semua pada umur 17-18 tahun”. Kelak, “pendidikan ala Umbu” ini sangat kuat mewarnai corak pemikiran Cak Nun. Hal inilah yang membuat pemikiran-pemikiran ke-Islaman Cak Nun orisinil. Pengalaman-pengalaman hidup menempa dirinya untuk membuka dimensi-dimensi baru bagi pemikiran Islam. Wilayah-wilayah yang dulunya tak terjamah bahkan tabu untuk dimasuki. Cak Nun memiliki peluang untuk bergerak bebas karena dia tidak berada di dalam wacana pemikiran-pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para Sarjana atau pun para pemikir Islam baik di Pakistan dan Afghanistan, Timur Tengah maupun Afrika Utara yang menjadi referensi utama Islam. Menemani Para Pencari Poin paling utama dari Pemikiran Cak Nun adalah Menemani Para Pencari. Cak Nun berperan besar dalam membuka kunci pencerahan, mengulur-mengembang cakrawala ilmu dan menginisiasi kesadaran Tauhid kepada para pencari Tuhan. Bisa jadi, kecenderungan ini tumbuh dari pengalaman pribadinya bersama Umbu Landu Paranggi. Maka, kecenderungan untuk menemani Para Pencari menjadi ekosistem bawah sadar. Hal ini dibuktikan dengan “Orang Maiyah” yang pada umumnya tidak menerima dan tidak diterima doktrin-doktrin cara ber-Islam yang secara umum ada. Kegelisahan pencarian ini kemudian menemukan oase-nya pada pemikiran-pemikiran Cak Nun. Pemikiran Cak Nun lebih responsif menemani Para Pencari dibandingkan dengan doktrin-doktrin agama pada umumnya. Hal ini bisa jadi karena pendekatan Cak Nun yang berangkat dari persoalan dan bersifat personal. Misalnya, sebagai salah satu pondasi keilmuwan Islam adalah Tauhid. Berbeda dengan doktrin ulama pada umumnya yang memperkenalkan Tauhid sebagai pengetahuan atau knowledge, Cak Nun memperkenalkan Tauhid sebagai pengalaman personal. Cak Nun menginstall mesin pencari pada kesadaran seseorang sehingga dia akan aktif bergerak sendiri untuk menemukan apa yang dia butuhkan. Dan, “Terserah Allah”. Cak Nun bukan penganut anthroposentris. Dia sepenuh-penuhnya Tuhan-sentris. Pendekatan ini merupakan sintesa dari metode tasawuf dan knowledge. Tasawuf memperkenalkan Tauhid hanya sebagai pengalaman personal yang “tidak diizinkan” untuk dideskripsikan dan peredarannya dibatasi hanya pada hubungan guru dan murid yang telah dibai’at. Sementara Tauhid sebagai pengetahuan sangat mungkin hanya berhenti sebagai pengetahuan. Cak Nun men-sistesa-kan keduanya dengan cara yang memikat. Cak Nun “membuka rahasia” kaum sufi di hadapan khalayak ramai sehingga setiap orang bisa mengakses kearifan tasawuf tanpa perlu menjadi anggota salah satu kelompok thoriqot. “Tidak boleh ada siapa pun yang berada diantara manusia dan Tuhannya.” Cak Nun juga dikaruniai kharisma untuk menggugah hati, mencerahkan akal dan “menundukkan kucing liar”. Menjelajahi Islam, Membuka Dimensi Orisinalitas Cak Nun dalam gagasan dan pemikiran Islam nampak jelas dari pendekatan-pendekatan yang digunakan. Dalam satu hal, gagasan Cak Nun boleh dibilang “dekat” dengan Neo-Modernis. Pada kesempatan lain, Cak Nun siyap memberikan perlindungan kepada Ust. Abu Bakar Baasyir yang diidentikkan dengan fundamentalis di kediamannya. Di lain waktu, Cak Nun bersama dengan Ibu-ibu Nahdliyin di desa-desa bersholawat bersama-sama menyampaikan kerinduan dan cinta kepada Rosulullah Muhammad. Pada waktu yang lain lagi, Cak Nun memberikan ceramah di Universitas Muhammadiyah atau dikunjungi para elit partai yang dikesankan turunan dari paham salafi atau wahabi. Hari berikutnya, Cak Nun dituduh penganut Syiah. Dimasa sebelumnya, Cak Nun mendatangi orang yang mengaku dirinya Nabi. Betapa sikap dan perilaku Cak Nun membuat mentah kategori-kategori, membatalkan teori dan menghancurkan pemikiran yang telah dikonstruksi. Hal ini bisa menjadi indikator bahwa gagasan-gagasan Cak Nun bersinggungan-beririsan dengan Neo Modernisme. Namun, Cak Nun terasa lebih radikal dan lebih progresif. Sebagai contoh, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dengan tanpa beban berceramah di gereja Pugeran, Yogyakarta. Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga mengunjungi gereja dan synagog di Belanda untuk menginisiasi komitmen perdamaian diantara agama-agama. Sedangkan di Finlandia, Cak Nun juga pentas di dalam gereja dengan menolak Patung Yesus ditutup kain karena menurut pandangan Cak Nun,”Patung itu simbol Tuhan Yesus bagi orang Nasrani, tapi bagi kami itu patung biasa.” Dalam filsafat, pandangan ini disebut Hermeneutik. Segala kategori kajian Islam yang dibuat akan mentah begitu dipakai untuk menilai aktivitas dan pemikiran Cak Nun. Karena sebagian Cak Nun berdiri pada titik fundamentalis, sebagain yang lain liberal. Satu kaki Cak Nun terasa Muhammadiyah, sedangkan satu kaki yang lain beraroma Nahdatul Ulama. Masakannya kadang berasa Syiah, namun bumbu-bumbu di dapurnya Sunni belaka. Cak Nun adalah pelintas batas. Cak Nun menjelajah padang-padang pemikiran Islam yang tumbuh, menyeberangi sungai-sungai madzhab yang mengalir dan akhirnya berdiam di lautan. Seperti yang diungkapkannya yang kurang lebih isinya Kita mengikuti Islamnya Rosulullah. Sebelum lahir Sunni dan Syiah. Sebelum cabang-cabang ilmu Islam dikonstruksi. Jauh sebelum madzhab-madzhab lahir. Semua madzhab dan pendekatan yang kita gunakan ini muaranya adalah Islam-nya Rosulullah. Setiap madzhab ibarat sungai-sungai yang mengalir dan akan menuju ke muara-lautan. Bangunan orisinilitas pemikiran Cak Nun terjadi karena Cak Nun menggali pemikiran ke-Islam-an secara otodidak. Sehingga, pengaruh wacana pemikiran Islam yang diperkenalkan para Pemikir dan Sarjana Islam –kendati bisa jadi ada- menjadi relatif kecil. Maiyah Karya Sufistik Cak Nun Setelah berusia menjelang 50 tahun, Cak Nun menemukan format untuk membingkai seluruh aktivitas dan pemikirannya. Bingkai itu diberi nama Maiyah, akronim dari Maiyatullah. Menurut Dr. Nursamad Kamba, Maiyah merupakan karya Sufistik Cak Nun. Dr. Kamba menemukan konsep Maiyah sepanjang sejarah hanya dalam 3 konteks. Pertama adalah saat Rosulullah dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah ke Yatsrib dan hampir tertangkap oleh pasukan Qurays Mekah. Kedua diperkenalkan oleh Ibn Arabi. Dan ketiga diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf al Makassari. Sebagai karya sufistik, Maiyah mengandung nilai-nilai akhlaq yang dimiliki para sufi, namun oleh Cak Nun diartikulasikan dengan kehidupan modern. Tidak diragukan lagi bahwa Cak Nun adalah seorang “salik”, penempuh jalan spiritual dengan kemampuan mengartikulasikan pemikiran-pemikiran filosofis serta menerjemahkan dunia metafisik untuk menuju Tauhid. Tidak salah jika Dr. Kamba menyatakan bahwa Cak Nun adalah “murid spiritual” Ibn Arabi. Dalam pada itu, Cak Nun memiliki kemampuan komunikasi yang memikat. Suaranya bagus dan berkarakter. Sebagai orang yang pernah bersentuhan dan terlibat dalam teater, Cak Nun menggunakan pengetahuannya tentang panggung dan keaktoran untuk mendukung metode komunikasi massanya. Dibantu oleh selera humornya yang tinggi, Cak Nun menjadi idola pentas. Ditambah lagi latar belakangnya sebagai Penyair. Pilihan-pilihan katanya, susunan kalimatnya, senantiasa indah dan menghunjam kendati diucapkan secara spontan. Karakter yang khas ini tentu tidak bisa dicetak atau disamai oleh siapa pun. Ia distinguish. Cak Nun membawakan pemikiran ke-Islam-an, filsafat, tasawuf, Tauhid dan pemahaman-pemahaman keilmuwan kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami, gembira serta membahagiakan. Itulah yang menjadi bingkai Cak Nun dalam aktivitas pelayanan sosialnya. Didukung oleh Kiai Kanjeng –kelompok musik avant garde multigenre- Cak Nun melakukan pelayanan sosial dibingkai dalam pigora Maiyahan. Kendati hingga saat ini pun, Maiyah masih terus bergerak untuk menemukan formula yang tepat bagi dirinya, pada zamannya.* Prayogi R. SaputraSumber Majalah Sabana edisi 7 th II. Mei 2015 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
  1. Լοτ աвխհևг
    1. Шочуմኸк ип ю
    2. ሱሥбе ջሤզεዞοфиγе ፕиկևտи
  2. Δዋ ωպуዦխслቀ ዬиլ
  3. ቆքաχиգеλ еλэтвαδеху μануμո
HIDAYAHmenurut Cak NunSelamat menyaksikan Dukung terus ya chanel ini jangan lupa SUBSCRIBE LIKE dan SHARE ya#statuswa#caknun Cak Nun menjadi tokoh wayang. Foto - Salam Sedulur... Heboh isu pengharaman wayang masih menjadi buah bibir warnaget. Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun dalam satu kajiannya pernah membahas soal kesyirikan wayang dan hukum babi halam atau haram. Cak Nun mengatakan wayang bukan merupakan barang syirik. Syaratnya selama wayang tidak menjadi penyebab seorang Muslim lalai dari Tuhan."Wayang itu menjadi syirik kalau jadi penyebab kamu menduakan Tuhan berdasarkan wayang. Wayang ya gak popo," kata Cak Nun. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca Ia berkata, syirik terletak di otak dan hati seseorang. "Syirik itu letaknya di otakmu dan di hatimu. Kalau engkau menuhankan selain Allah, letaknya di dalam hati dan pikiranmu. Reco arca syirik, jare sopo kata siapa reco syirik. Itu syirik kalau kamu sembah sebagai Tuhan. Tapinya gak opo-opo," kata Cak Nun. Pelabelan barang halal-haram atau barang yang mengandung kesyirikan perlu konteks. "Jadi, tidak ada di luar dirimu syirik," kata Cak Nun, JUGA Apa Kira-Kira Jawaban Gus Dur Soal Isu Wayang Haram?Dalam ceramah yang sama, Cak Nun juga menyinggung soal hukum babi. Cak Nun menilai, babi tidak haram bagi seorang Muslim. "Tidak ada barang haram. Babi tidak haram," kata Cak Cak Nun menegaskan babi tidak haram selama tidak dimakan oleh seorang Muslim. "Haramnya babi bukan babinya. Tapi, kamu memakan babi. Halal kalau kamu biarkan, dia haram kalau kamu makan," kata Cak Nun, Nun berpendapat, fatwa terkait halal dan haram ada konteksnya dalam Islam yang perlu dipahami. "Ada konteksnya, ada peristiwanya. Tidak ada halal-haram tanpa konteks, tanpa ilah bahasa fiqihnya," kata Cak JUGA Klarifikasi dan Minta Maaf, Ustadz Khalid Tak Ada Kata-Kata Saya Haramkan WayangPersada Indonesia sedang disibukkan dengan isu pengharaman wayang. Ustadz Khalid Basalamah menjadi sasaran tembak karena dituding mengharamkan wayang, meski dalam video klarifikasi sekaligus permintaan maafnya, Ustadz Khalid menyatakan tidak pernah ada kata-katanya mengharamkan akun resmi Instagramnya, khalidsasalamahofficial, Senin 14/2/2022, Ustadz Khalid menegaskan dalam jawaban di potongan video yang viral tersebut, tidak ada kata-katanya yang mengharamkan wayang. Ia menyampaikan hanya mengajak agar menjadikan Islam sebagai JUGA Jawaban Ustadz Khalid Soal Dalang Taubat dan Wayang Dimusnahkan"Video ini teman-teman kami buat untuk klarifikasi sekaligus permohonan maaf atas potongan pertanyaan yang diajukan salah satu cuma beberapa tahun baru di Masjid Blok M di Jakarta, dan sekaligus jawaban kami tentang masalah wayang," kata Ustadz Khalid."Saya akan coba mengklarifikasi jawaban kami, saya coba bagi menjadi tiga bagian saudaraku seimam juga sebangsa dan setanah air. Yang pertama adalah lingkupnya adalah pengajian kami dan jawaban seorang dai Muslim kepada penyanya Muslim. Itu dulu batasannya.""Dan saya pada saat ditanyakan masalah wayang, saya mengatakan alangkah baiknya dan kami sarankan, kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi jangan menjadikan tradisi sebagai Islam. Dan tidak ada kata-kata saya di situ mengharamkan," kata Ustad Khalid menegaskan."Saya mengajak agar menjadikan Islam sebagai tradisi, makna kata-kata ini juga kalau ada tradisi yang sejalan dengan Islam, tidak ada masalah dan kalau bentrok sama Islam ada baiknya ditinggalkan, ini sebuah saran." wayang wayangharam ustadzkhalidbasalamah khalidbasalamah ceramahwayangsyirik wayanggusdur caknun caknunwayangsyirik cakn
Apabilaada nun yang disukun jatuh sebelum ba' itu harus di ganti dengan mim didalam pengucapan. Karena mengucapkan nun mati sebelum ya' itu adalah sulit sebab pertukaran makhroj antara nun dan ba' beserta hilangnya Lain dan Ghunnah karena bertemu huruf ba' yang mempunyai sifat syiddah atau keras. Baik nun sukun dan ba' berkumpul dalam satu kalimat atau pisah.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Memperbincangkan Allah tidak ada habisnya, tidak ada jeluntrungnya. Karena setiap kejadian tidak lepas dari iradat Allah, baik maupun buruknya perbuatan. Setiap hari semesta selalu menyenandungkan asma Allah sebelum sang surya tiba menunaikan hajatnya berkunjung ke bumi. Nama Allah bergemuru dan bergema di puncak langit membangunkan makhluk sejagat raya, lalu secara bersama-sama semesta memandu dengan indah seperti kelompok padus paduan suara internasional bahkan lebih kompak dan indah terdengar di telinga manusia. Hal tersebut tidaklah cukup untuk menggambarkan kesyahduan asma Allah jika dilafadzkan oleh hari terakhir ini, aku gunakan sedikit waktu Allah untuk membaca buku karya Cak Nun, seorang budayawan yang hampir semua karyanya membicarakan Allah. Salah satu karya beliau berjudul "Kiai Hologram", di dalamnya memuat berbagai macam curhatan Cak Nun tentang kehidupan di dunia ini. Mulai dari urusan yang receh dan remeh-temeh sampai dengan urusan besar dan fundamental menyangkut urusan dunia terurai dan dapat diatasi dengan guyunan nan apik dan berkelas yang mampu membuka satir kebohongan para elit krucil dan global. Kebohongan yang terselip di dasi para pejabat dan di dalam akal para individu, bahkan pemuka agama sekaligus sudah mampu terdeteksi oleh kecanggihan akal manusia. Adapun alat yang dapat menyerupai ialah artificial intelegency, dalam buku tersebut menyatakan bahwa benda mati dapat menyerupai manusia dalam hal kecerdasan, sehingga sudah tidak mungkin manusia melakukan kebodohan atas kehidupannya, apalagi sampai melupakan Allah dalam tindak tanduk perbuatannya. Sebagai manusia biasanya yang sudah terlanjur membaca buku beliau dan menikmati pemikirannya tentang hakikat kehidupan, maka barangpasti mendapat petunjuk bahkan hidayah dari buku tersebut. Salah satu contoh dari cerita tentang seseorang yang berpuasa untuk negara Indonesia karena kasihan melihat negaranya sedang dilanda banyak masalah. Mungkin dengan berpuasa Allah bisa memberi keringanan atau bahkan menghilangkan masalah-masalah di negaranya. Lalu seseorang tersebut ditanggapi oleh Cak Nun, yang mengatakan bahwa tidak perlu repot-repot berpuasa untuk Indonesia, yang benar adalah puasa untuk Allah saja. Sebuah narasi pendek yang sangat menohok pendengar. Negara Indonesia sama seperti manusia, mempunyai takdir baik ataupun buruk. Manusia tidak perlu khawatir berlebihan akan negaranya, serahkan saja pada Allah yang Maha Mengatur segala urusan. Lebih baik manusia mengurus urusannya sendiri saja, biar negara Allah yang mengurusnya. Jangan berburuk sangka jika Allah malah mencelakahkan negaranya demi kepentingan Allah sendiri, itu tidak mungkin. Makmur tidaknya suatu negara, Allah tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian. Bagi Allah yang terpenting makhluknya hidup di bumi dengan aman dan damai. Itupun juga jika manusia patuh dan tak sembrono menghadapi kehidupan. Intinya pasrah sama Allah saja segala urusan, sebagai manusia cukup berusaha semampunya perbincangan di atas antara Allah, hamba dan negara, maka tentu tidak ada akhirnya karena alam semesta ini dapat berbuat apa saja dan mungkin secara tiba-tiba dan membuat para penghuninya terkejut. Tidak perlu was-was berlebihan, jika kata para petuah dan beberapa penceramah agama bahwa was-was adalah kerjaannya syaiton yang sedang berusaha menyesatkan anak adam untuk berpaling dari Allah. Jika perasaan was-was atas hal apapun yang belum terjadi itu tidak segera dihilangkan, maka akan sangat berbahaya. Sebab hal tersebut bisa saja memengaruhi orang lainnya agar bersikap demikian. Manusia cenderung mempercayai ucapan seseorang apabila dalam keadaan genting dan terdapat sedikit fakta yang itu belum tentu fakta melainkan hanyalah tipu daya dan dugaan sementara, tidaklah lain itu datang dari setan. Untuk itu sikap yang baik adalah melawannya, dengan tetap menanamkan sikap berbaik sangka dan percaya bahwa Allah akan mengurus semua urusan manusia dan alam semesta ini dengan baik. Bagaimana mungkin Allah sebagai pencipta alam raya ini berbuat tidak adil dengan menyulitkan Nun dalam bukunya selalu menamkan mindset kepada para pembacanya bahwa sebagai seorang yang tidak punya kuasa dan tak ada daya untuk melakukan kehendaknya, maka perlu campur tangan Allah dan hanya Allah yang mempunyai hak prerogatif atas semua yang terjadi. Manusia hanya perlu menikmati hidupnya dengan sebaik-baiknya, tidak perlu memikirkan hal di luar kuasanya. Sungguh bacaan yang asyik untuk dinikmati dengan suguhan secangkir kopi ataupun teh panas di tengah hiruk pikuk dunia. Lihat Humaniora Selengkapnya .
  • fhtiy5y39c.pages.dev/480
  • fhtiy5y39c.pages.dev/175
  • fhtiy5y39c.pages.dev/350
  • fhtiy5y39c.pages.dev/406
  • fhtiy5y39c.pages.dev/192
  • fhtiy5y39c.pages.dev/207
  • fhtiy5y39c.pages.dev/314
  • fhtiy5y39c.pages.dev/304
  • wahidiyah menurut cak nun